Rabu, 21 Maret 2012

STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA


STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA
SETELAH PERUBAHAN KEEMPAT UUD TAHUN 19451

Undang-Undang dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan
mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke
Perubahan Keempat pada tahun 2002. Perubahan-perubahan ituj juga meliputi
materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah
materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir
ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi
muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD
1945, tetapi dari sudut isinya UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002
sekarang ini sudah dapat dikatakan merupakan Konstitusi baru sama sekali
dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Sehubungan dengan itu penting disadai bahwa sistem ketatanegaraan
Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 itu telah mengalami
perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan itu juga
mempengaruhi struktur dan mekanisme structural organ-organ negara Republik
Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Banyak
pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu.
Empat diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya citademokrasi dan
1 Disampaikan dalam symposium Nasional yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003
2 Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, Ketua Asosiasi
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia
2
nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplamenter; (b)
pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances’ (c) pemurnian sistem
pemerintah presidential; dan (d) pengeuatan cita persatuan dan keragaman
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CITA DEMOKRASI DAN NOMOKRASI
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat atau democratie
(democracy). Pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat.
Kekuasaan yang sesungguhnya adalah berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan diselenggarakan bersama-sama
dengan rakyat. Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar,
pelaksanaannya kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut
prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi
(constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie)
dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara
beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-
Undang Dasar negara kita menganut pengertian bahwa Negara Republik
Indonesia itu adalah Negara Hukum yang demokrasi (democratische rechtstaat)
dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasarkan atau hukum
(constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Kedaulatan rakyat (democratie) Indonesia itu diselenggarakan secara
langsung dan melalui sistem perwakilan. Secara langsung, kedaulatan rakyat itu
diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah; presiden dan wakil presiden ; dan kekuasaan
Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Konstitusidan Mahkamah Agung.
Dalam menetukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuanketentuan
hukum berupa Undang-Undang dasar dan Undang-Undang (fungsi
3
Legislatif), serta dalam menajlankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol)
terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan
melalui sistem perwakilan. Yaitu melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah
propinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga
disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy)
dilakukan melalui pemilihan umum untuk memlih anggota lembaga perwakilan
dan memilih Presiden dan Wakil presiden. Disamping itu, kedaulatan rakyat
dapat pula disalurkan setipa waktu melalui pelaksanaan hak dan kebebasan
berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebasan informasi,
kebebasan pers, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hakhak
asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Namun, prinsip
kedaulatan rakyat yang bersifat langsung itu hendaklah dilakukan melalui
saluran-saluran yang sah sesuai dengan prosedur demokrasi (procedural
democracy). Sudah seharusnya lembaga perwakilan rakyat dan lembaga
perwakilan daerah diberdayakan fungsinya dan pelembagaannya, sehingga
dapat memperkuat sistem demokrasi yang berdasar atas hukum (demokrasi
Konstitusional) dan prinsip negara hukum yang demokratis tersebut di atas.
Bersamaan dengan itu, negara Indonesia juga disebut sebagai Negara
Hukum (Rechtstaat), bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat). Di dalamnya
terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum
dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan
menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar,
adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang dasar,
adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin
persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi
4
setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang
berkuasa. Dalam paham Negara Hukum yang demikian itu, pada hakikatnya
hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip
nomokrasi (nomcrasy) dan doktrin ‘the Rule of Law, and not of Man’. Dalam
kerangka ‘the rule of Law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu
mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam
hukum dan pemerintah (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).
Namun demikian, harus pula ada jaminan bahwa hukum itu sendiri
dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip
supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari
kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun
dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat
(democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan
dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka
(Machtstaat). Prinsip Negara Hukum tidak boleh ditegakkan dengan
mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar. Puncak kekuasaan hukum itu diletakkan pada konstitusi yang pada
hakikatnya merupakan dokumen kesepakatan tentang sistem kenegaraan
tertinggi. Bahkan, dalam sistem presidensil yang dikembangkan, konstitusi itulah
yang pada hakikatnya merupakan Kepala Negara Republik Indonesia yang
bersifat simbolik (symbolic head of state), dengan keberadaan Mahkamah
Konstitusisebagai penyangga atau ‘the guardian of the Indonesian constitution’.
Ketentuan mengenai cita-cita negara hukum ini secara tegas dirumuskan
dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan: ‘Negara Indonesia adalah
Negara Hukum’, sebelum ini, rumusan naskah asli UUD 1945 tidak
mencantumkan ketentuan mengenai negara hukum ini, kecuali hanya dalam
penjelasan UUD 1945 yang menggunakan istilah ‘rechtsstaat’. Rumusan
5
eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum baru terdapat dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950. Untuk mengatasi kekuarangan itulah maka dalam perubahan
ketiga UUD 1945, ide negara hukum (rechtstaat atau the rule of law) itu
diadopsikan secara tegas ke dalam rumusan pasal UUD, yaitu pasal 1 ayat (3)
tersebut diatas. Sementara itu, ketentuan mengenai prinsip kedaulatan rakyat
terdapat dalam pembukaan dan juga pada pasal 1 ayat (2). Cita-cita kedaulatan
tergambar dalam pembukaan UUD 1945, terutama dalam rumusan alinea IV
tentang dasar negara yang kemudian dikenal dengan sebutan Pancasila. Dalam
alinea ini, cita-cita kerakyatan dirumuskan secara jelas sebagai “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Sedangkan dalam rumusan pasal 1 ayat (2), semangat kerakyatan itu
ditegaskan dalam ketentuan yang menegaskan bahwa “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
PEMISAHAN KEKUASAAN DAN PRINSIP ‘CHECKS AND BALANCES’
Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat tersebut di atas selama ini
hanya diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan
penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan yang
diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas.
Dari Majelis inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara vertikal ke dalam
lembaga-lembaga tinggi negara yang berada dibawahnya. Karena itu, prinsip
yang dianut disebut sebagai prinsip pembagian kekuasaan (distribution of
power). Akan tetapi, dalam Undan-Undang dasar hasil perubahan, prinsip
kedaulatan rakyat tersebut ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara
memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang
dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip ‘checks and balaces’.
6
Cabang kekuasaan legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat,
tetapi majelis ini terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederajat dengan
lembaga negara lainnya. Untuk melengkapi pelaksanaan tugas-tugas
pengawasan, disamping lembaga legislatif dibentuk pula Badan Pemeriksa
Keuangan. Cabang kekuasaan eksekutif berada ditangan Presiden dan Wakil
Presiden. Untuk memberikan nasehat dan saran kepada Presiden dan Wakil
Presiden, dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung. Sedangkan cabang
kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan rumah penjelmaan
seluruh rakyat yang strukturnya dikembangkan dalam dua kamar, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu,
prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus
dibedakan hakikatnya dari prinsip perwakilan rakyat dalam Dewan Perwakilan
Rakyat.
Maksudnya ialah agar seluruh aspirasi rakyat benar-benar dapat
dijelmakan ke dalam Majelis Perusyawaratan Rakyat yang terdiri dari dua pintu.
Kedudukan Majelis Pemusyawaratan Rakyat yang terdiri dari dua lembaga
perwakilan itu itu adalah sederajad dengan Presiden dan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai
dengan prinsip ‘Check and balances’. Dengan adanya prinsip ‘Check and
balances’ ini, maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi dan bahkan
dikontrol dengan sesebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh
aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang
menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat
dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar