PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Ada dua variabel
dalam judul di atas, yakni pembaharuan hukum di satu
sisi dan reformasi sistem
nasional di sisi lainnya. Pada hakikatnya dua faktor
kehidupan bernegara yang terkait
dalam judul ini, yaitu hukum dan sistem
kehidupan bangsa, sama-sama
menuntut adanya gerakan pembaharuan dan
reformasi. Namun dalam konteks
ini sistem manajemen atau pengelolaan
kehidupan nasional itulah yang
lebih menonjolkan masalahnya, dan
menginginkan adanya reformasi
baik dari segi politis maupun yuridis.
Realitas kehidupan kenegaraan
selama tiga dasawarsa yang lalu
membuktikan terjadinya
inkonsistensi dan deviasi dari konsep dasar sistem
manajemen yang seharusnya, yakni
UUD 1945. sistem pemerintahan itu
bergeser dari pola demokrasi
kepada oligarki, berlarut-larut, sehingga akhirnya
terjadi diskrepansi atau
kesenjangan-kesenjangan, baik dibidang sosial politik,
maupun sosial ekonomi, sosial
budaya, dan Hankamtibmas.1
Maka pada prinsipnya, tuntutan
reformasi sistem manajemen kehidupan
bangsa secara menyeluruh itulah
yang memerlukan adanya reformasi kebijakan
politik dan reformasi sistem
hukum, supaya manajemen nasional itu dapat
dikembalikan kepada sistem
menurut konsep dasarnya sendiri secara
konstitusional.
Reformasi Paradigma
Pada prinsipnya,
kerangka utama strategi politik mengenai pembinaan /
pembangunan hukum nasional itu
selama tiga dasawarsa yang lalu mempunyai
konsep dasar yang sama, yaitu UUD
1945. Landasan idealnya sama, yakni
Pancasila, landasan politis
operasionalnya pun sama, yakni tujuan nasional
yang tercantum dalam pembukaan
UUD itu, dan landasan struktural
kelembagaan pemerintah yang akan
mendukung beban pembangunan itu pun
sama, yakni sistem pemerintah
presidensil.
Faktor domestik maupun hubungan
dengan luar secara regional maupun
global juga terdapat dalam
rumusan public policy di dalam setiap GBHN yang
ditetapkan oleh MPR mulai dari
tahun 1973 sampai 1999. Peraturan Perundangundangan
pun tetap menyusul untuk mengatur
tindak lanjut dari kebijakan politis
dalam GBHN itu. Namun terlepas
dari persoalan UUD 1945, yang jelas-jelas
menurut teks dan jiwanya adalah
disemangati asas keadilan sosial dan berpihak
pada konsep sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, tapi tidak selalu demikian
pada garis politik dan
Perundang-undangan yang menyusul di bawahnya.
Memang diakui bahwa tidak sama
pandangan berbagai pihak mengenai
penilaian terhadap konsistensi
dan akomodatif serta aspiratif tidaknya isi GBHN
yang ada, terlebih-lebih terhadap
GBHN yang dihasilkan pada Maret 1998 dan
1999. namun secara garis besar
muatan GBHN terakhir itu dinilai telah
1 Bagian dari tulisan ini pernah
dimuat di Harian Republika, Jakarta, 22-23 Maret 1999
memadai, sebagai garis politik (policy)
secara teoritis-konsepsional. Sedangkan
masalah yang mencuat di era
reformasi yang gejalanya mulai marak sebelum
Sidang Umum MPR Maret 1998, bukan
mengenai apa yang kebijakan secara
teoritis konsepsional itu saja,
tetapi juga mengenai power structure (struktur
kekuasaan pemerintah).
Inilah pada dasarnya yang menjadi
sasaran utama sebelum dan sesudah
SU MPR Maaret 1998 itu, dan
akhirnya tiba pada saat titik kritis lengser-nya
Presiden Soeharto dari posisi
sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan.
Masyarakat menilai Presiden
Soeharto selalu top administrator dan top
management dan tidak
konsisten menjabarkan pesan-pesan politik dalam
GBHN. Bahkan melakukan manipulasi
kebijakan melalui penerbitan Keputusankeputusan
Presiden yang tidak sesuai
paradigma keadilan sosial yang
diamanatkan Pancasila, UUD 1945
dan GBHN.
Keadilan sosial sebagai salah
satu sila, yang sekaligus dijiwai oleh
keempat sila lainnya dalam
Pancasila itu, adalah keadilan sosial yang spesifik
Indonesia, tidak sama dengan
konsep keadilan sosial yang terdapat di negara
lain. Dalam spesifikasinya itu,
keadilan sosial dan kerakyatan yang akhirakhirnya
ini dikumandangkan dimana-mana
terutama oleh mereka yang
mempunyai obsesi dan ambisi
politik sebagai dasar pemberdayaan ekonomi
rakyat dan kerakyatan-sebenarnya
bukan hanya relevan dan terbatas untuk
kehidupan ekonomi saja. Perlu
diperhatikan kembali bahwa “ Keadilan sosial”
yang dimaksud sebagai salah satu
paradigma filosofis itu, adalah untuk
keseluruhan bidang kehidupan
bangsa, supaya terkondisi keadilan sosial dalam
kehidupan sosial politik ekonomi,
sosial budaya, dan bidang Hankamtibmas.
Namun dapat dipahami bahwa dewasa
ini bidang sosial ekonomi lebih
menonjol dan menurut perhatian
kebijakan, karena sangat menimbulkan
kegoncangan politik dalam dan
luar negeri, keamanan dan ketertiban, dan
meluas kepada benturan-benturan
sosial budaya. Demikian dasyatnya
goncangan, baik dari dalam maupun
luar negeri, hingga mengancam keutuhan,
persatuan, dan kesatuan bangsa
dan negeri ini.
Jika dikaji ulang surut kepada
kebijakan masa lampau dan dikaitkan
dengan tuntutan reformasi masa kini,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
nucleus atau inti
tuntutan itu ialah agar paradigma atau kriteria dasar sistem
manajemen kehidupan nasional itu
diluruskan kembali secara menyeluruh
dengan memprioritaskan paradigma
kebijakan dan tindakan di bidang politik,
ekonomi, dan penegakan hukum.
Tiga sektor ini politik, ekonomi,
dan hukum sering dicuatkan oleh
masyarakat dan para analisis
sebagai faktor-faktor yang dominan dan
determinan. Sebabnya ialah karena
pada ketiga faktor itulah titik pangkal utama
pelecehan paradigma keadilan
sosial itu berlangsung oleh pimpinan dan para
pelaku kekuasaan di masa lampau,
yang selanjutnya menimbulkan friksi-friksi
dan konflik sosial budaya dan
kantibmas. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
merupakan panggung utama bagi
terjadinya praktik-praktik yang membidangi
tiga faktor itu, yang dikuasai
oleh para elit politik, elit ekonomi, dan elit
intelektual. Selain terjadinya
kolusi antara sesama elit penguasa, juga terjadi
antara penguasa dan kalangan
pengusaha, yang mengakibatkan rawannya
penegakan hukum dan keadilan.
Maka berkembanglah proses
pengeroposan mental dan perilaku elit
dalam jaringan kerja antara
pengusaha, pengusaha, dan sebagian masyarakat,
yang membudaya secara luas dan
akhirnya menimbulkan pembusukan pada
fondasi dan pilar-pilar
pemerintah negara ini.
Mengenai paradigma ini, Prof. Dr.
Romli Atmasamita, dalam tulisannya
mengatakan, telah terjadi
perubahan paradigma dalam kehidupan politik dari
ketatanegaraan di Indonesia yaitu
dari sistem otoritas kepada sistem demokrasi,
dan dari sistem sentralistik
kepada sistem otonomi. Perubahan paradigma
tersebut sudah tentu berdampak
terhadap sistem hukum yang dianut selama ini
yang menitik-beratkan kepada
produk-produk hukum yang lebih banyak
berpihak kepada kepentingan penguasa
daripada kepentingan rakyat, dan
produk hukum yang lebih
mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah
pusat dari pada kepentingan
pemerintah daerah.
Disamping perubahan paradigma
tersebut juga selayaknya kita
(cendekiawan hukum dan praktisi
hukum) ikut mengamati fenomena-fenomena
yang terjadi didalam percaturan
politik dan kehidupan ketatanegaraan di
Indonesia kerena terhadap bagian
ini kita sering “alergi” dan mengabaikannya.
Sedangkan kehidupan perubahan
sistem politik dan sistem ketatanegaraan
berdampak mendasar terhadap
perkembangan sistem hukum2.
Sekarang ini masyarakat tidak
hanya mendambakan sekedar adanya
peraturan hukum, tetapi masalah
yang mengemuka ialah apakah masih ada
unsur keadilan dalam sistem hukum
yang berlaku di semua sektor-sektor dan
bidang kehidupan bangsa ini.
Tidak hanya dalam hal keberadaan peraturan
hukum yang diproduk pimpinan
eksekutif berupa Keppres, tetapi juga dalam hal
penegakan hukum (law
enforcement) di semua lini kehidupan, baik diantara
sesama aparat birokrasi, dan juga
dalam hubungan antara aparat birokrasi dan
penegakan hukum dalam rangka pelayanan bagi
masyarakat (public service).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar