Rabu, 21 Maret 2012

PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL


PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

Ada dua variabel dalam judul di atas, yakni pembaharuan hukum di satu
sisi dan reformasi sistem nasional di sisi lainnya. Pada hakikatnya dua faktor
kehidupan bernegara yang terkait dalam judul ini, yaitu hukum dan sistem
kehidupan bangsa, sama-sama menuntut adanya gerakan pembaharuan dan
reformasi. Namun dalam konteks ini sistem manajemen atau pengelolaan
kehidupan nasional itulah yang lebih menonjolkan masalahnya, dan
menginginkan adanya reformasi baik dari segi politis maupun yuridis.
Realitas kehidupan kenegaraan selama tiga dasawarsa yang lalu
membuktikan terjadinya inkonsistensi dan deviasi dari konsep dasar sistem
manajemen yang seharusnya, yakni UUD 1945. sistem pemerintahan itu
bergeser dari pola demokrasi kepada oligarki, berlarut-larut, sehingga akhirnya
terjadi diskrepansi atau kesenjangan-kesenjangan, baik dibidang sosial politik,
maupun sosial ekonomi, sosial budaya, dan Hankamtibmas.1
Maka pada prinsipnya, tuntutan reformasi sistem manajemen kehidupan
bangsa secara menyeluruh itulah yang memerlukan adanya reformasi kebijakan
politik dan reformasi sistem hukum, supaya manajemen nasional itu dapat
dikembalikan kepada sistem menurut konsep dasarnya sendiri secara
konstitusional.

Reformasi Paradigma

Pada prinsipnya, kerangka utama strategi politik mengenai pembinaan /
pembangunan hukum nasional itu selama tiga dasawarsa yang lalu mempunyai
konsep dasar yang sama, yaitu UUD 1945. Landasan idealnya sama, yakni
Pancasila, landasan politis operasionalnya pun sama, yakni tujuan nasional
yang tercantum dalam pembukaan UUD itu, dan landasan struktural
kelembagaan pemerintah yang akan mendukung beban pembangunan itu pun
sama, yakni sistem pemerintah presidensil.
Faktor domestik maupun hubungan dengan luar secara regional maupun
global juga terdapat dalam rumusan public policy di dalam setiap GBHN yang
ditetapkan oleh MPR mulai dari tahun 1973 sampai 1999. Peraturan Perundangundangan
pun tetap menyusul untuk mengatur tindak lanjut dari kebijakan politis
dalam GBHN itu. Namun terlepas dari persoalan UUD 1945, yang jelas-jelas
menurut teks dan jiwanya adalah disemangati asas keadilan sosial dan berpihak
pada konsep sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tapi tidak selalu demikian
pada garis politik dan Perundang-undangan yang menyusul di bawahnya.
Memang diakui bahwa tidak sama pandangan berbagai pihak mengenai
penilaian terhadap konsistensi dan akomodatif serta aspiratif tidaknya isi GBHN
yang ada, terlebih-lebih terhadap GBHN yang dihasilkan pada Maret 1998 dan
1999. namun secara garis besar muatan GBHN terakhir itu dinilai telah
1 Bagian dari tulisan ini pernah dimuat di Harian Republika, Jakarta, 22-23 Maret 1999
memadai, sebagai garis politik (policy) secara teoritis-konsepsional. Sedangkan
masalah yang mencuat di era reformasi yang gejalanya mulai marak sebelum
Sidang Umum MPR Maret 1998, bukan mengenai apa yang kebijakan secara
teoritis konsepsional itu saja, tetapi juga mengenai power structure (struktur
kekuasaan pemerintah).
Inilah pada dasarnya yang menjadi sasaran utama sebelum dan sesudah
SU MPR Maaret 1998 itu, dan akhirnya tiba pada saat titik kritis lengser-nya
Presiden Soeharto dari posisi sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan.
Masyarakat menilai Presiden Soeharto selalu top administrator dan top
management dan tidak konsisten menjabarkan pesan-pesan politik dalam
GBHN. Bahkan melakukan manipulasi kebijakan melalui penerbitan Keputusankeputusan
Presiden yang tidak sesuai paradigma keadilan sosial yang
diamanatkan Pancasila, UUD 1945 dan GBHN.
Keadilan sosial sebagai salah satu sila, yang sekaligus dijiwai oleh
keempat sila lainnya dalam Pancasila itu, adalah keadilan sosial yang spesifik
Indonesia, tidak sama dengan konsep keadilan sosial yang terdapat di negara
lain. Dalam spesifikasinya itu, keadilan sosial dan kerakyatan yang akhirakhirnya
ini dikumandangkan dimana-mana terutama oleh mereka yang
mempunyai obsesi dan ambisi politik sebagai dasar pemberdayaan ekonomi
rakyat dan kerakyatan-sebenarnya bukan hanya relevan dan terbatas untuk
kehidupan ekonomi saja. Perlu diperhatikan kembali bahwa “ Keadilan sosial”
yang dimaksud sebagai salah satu paradigma filosofis itu, adalah untuk
keseluruhan bidang kehidupan bangsa, supaya terkondisi keadilan sosial dalam
kehidupan sosial politik ekonomi, sosial budaya, dan bidang Hankamtibmas.
Namun dapat dipahami bahwa dewasa ini bidang sosial ekonomi lebih
menonjol dan menurut perhatian kebijakan, karena sangat menimbulkan
kegoncangan politik dalam dan luar negeri, keamanan dan ketertiban, dan
meluas kepada benturan-benturan sosial budaya. Demikian dasyatnya
goncangan, baik dari dalam maupun luar negeri, hingga mengancam keutuhan,
persatuan, dan kesatuan bangsa dan negeri ini.
Jika dikaji ulang surut kepada kebijakan masa lampau dan dikaitkan
dengan tuntutan reformasi masa kini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
nucleus atau inti tuntutan itu ialah agar paradigma atau kriteria dasar sistem
manajemen kehidupan nasional itu diluruskan kembali secara menyeluruh
dengan memprioritaskan paradigma kebijakan dan tindakan di bidang politik,
ekonomi, dan penegakan hukum.
Tiga sektor ini politik, ekonomi, dan hukum sering dicuatkan oleh
masyarakat dan para analisis sebagai faktor-faktor yang dominan dan
determinan. Sebabnya ialah karena pada ketiga faktor itulah titik pangkal utama
pelecehan paradigma keadilan sosial itu berlangsung oleh pimpinan dan para
pelaku kekuasaan di masa lampau, yang selanjutnya menimbulkan friksi-friksi
dan konflik sosial budaya dan kantibmas. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
merupakan panggung utama bagi terjadinya praktik-praktik yang membidangi
tiga faktor itu, yang dikuasai oleh para elit politik, elit ekonomi, dan elit
intelektual. Selain terjadinya kolusi antara sesama elit penguasa, juga terjadi
antara penguasa dan kalangan pengusaha, yang mengakibatkan rawannya
penegakan hukum dan keadilan.
Maka berkembanglah proses pengeroposan mental dan perilaku elit
dalam jaringan kerja antara pengusaha, pengusaha, dan sebagian masyarakat,
yang membudaya secara luas dan akhirnya menimbulkan pembusukan pada
fondasi dan pilar-pilar pemerintah negara ini.
Mengenai paradigma ini, Prof. Dr. Romli Atmasamita, dalam tulisannya
mengatakan, telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dari
ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritas kepada sistem demokrasi,
dan dari sistem sentralistik kepada sistem otonomi. Perubahan paradigma
tersebut sudah tentu berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini
yang menitik-beratkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak
berpihak kepada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat, dan
produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah
pusat dari pada kepentingan pemerintah daerah.
Disamping perubahan paradigma tersebut juga selayaknya kita
(cendekiawan hukum dan praktisi hukum) ikut mengamati fenomena-fenomena
yang terjadi didalam percaturan politik dan kehidupan ketatanegaraan di
Indonesia kerena terhadap bagian ini kita sering “alergi” dan mengabaikannya.
Sedangkan kehidupan perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan
berdampak mendasar terhadap perkembangan sistem hukum2.
Sekarang ini masyarakat tidak hanya mendambakan sekedar adanya
peraturan hukum, tetapi masalah yang mengemuka ialah apakah masih ada
unsur keadilan dalam sistem hukum yang berlaku di semua sektor-sektor dan
bidang kehidupan bangsa ini. Tidak hanya dalam hal keberadaan peraturan
hukum yang diproduk pimpinan eksekutif berupa Keppres, tetapi juga dalam hal
penegakan hukum (law enforcement) di semua lini kehidupan, baik diantara
sesama aparat birokrasi, dan juga dalam hubungan antara aparat birokrasi dan
penegakan hukum dalam rangka pelayanan bagi masyarakat (public service).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar