Rabu, 21 Maret 2012

STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA


STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA
SETELAH PERUBAHAN KEEMPAT UUD TAHUN 19451

Undang-Undang dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan
mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke
Perubahan Keempat pada tahun 2002. Perubahan-perubahan ituj juga meliputi
materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah
materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir
ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi
muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD
1945, tetapi dari sudut isinya UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002
sekarang ini sudah dapat dikatakan merupakan Konstitusi baru sama sekali
dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Sehubungan dengan itu penting disadai bahwa sistem ketatanegaraan
Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 itu telah mengalami
perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan itu juga
mempengaruhi struktur dan mekanisme structural organ-organ negara Republik
Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Banyak
pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu.
Empat diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya citademokrasi dan
1 Disampaikan dalam symposium Nasional yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003
2 Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, Ketua Asosiasi
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia
2
nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplamenter; (b)
pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances’ (c) pemurnian sistem
pemerintah presidential; dan (d) pengeuatan cita persatuan dan keragaman
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CITA DEMOKRASI DAN NOMOKRASI
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat atau democratie
(democracy). Pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat.
Kekuasaan yang sesungguhnya adalah berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan diselenggarakan bersama-sama
dengan rakyat. Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar,
pelaksanaannya kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut
prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi
(constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie)
dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara
beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-
Undang Dasar negara kita menganut pengertian bahwa Negara Republik
Indonesia itu adalah Negara Hukum yang demokrasi (democratische rechtstaat)
dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasarkan atau hukum
(constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Kedaulatan rakyat (democratie) Indonesia itu diselenggarakan secara
langsung dan melalui sistem perwakilan. Secara langsung, kedaulatan rakyat itu
diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah; presiden dan wakil presiden ; dan kekuasaan
Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Konstitusidan Mahkamah Agung.
Dalam menetukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuanketentuan
hukum berupa Undang-Undang dasar dan Undang-Undang (fungsi
3
Legislatif), serta dalam menajlankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol)
terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan
melalui sistem perwakilan. Yaitu melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah
propinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga
disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy)
dilakukan melalui pemilihan umum untuk memlih anggota lembaga perwakilan
dan memilih Presiden dan Wakil presiden. Disamping itu, kedaulatan rakyat
dapat pula disalurkan setipa waktu melalui pelaksanaan hak dan kebebasan
berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebasan informasi,
kebebasan pers, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hakhak
asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Namun, prinsip
kedaulatan rakyat yang bersifat langsung itu hendaklah dilakukan melalui
saluran-saluran yang sah sesuai dengan prosedur demokrasi (procedural
democracy). Sudah seharusnya lembaga perwakilan rakyat dan lembaga
perwakilan daerah diberdayakan fungsinya dan pelembagaannya, sehingga
dapat memperkuat sistem demokrasi yang berdasar atas hukum (demokrasi
Konstitusional) dan prinsip negara hukum yang demokratis tersebut di atas.
Bersamaan dengan itu, negara Indonesia juga disebut sebagai Negara
Hukum (Rechtstaat), bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat). Di dalamnya
terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum
dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan
menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar,
adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang dasar,
adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin
persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi
4
setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang
berkuasa. Dalam paham Negara Hukum yang demikian itu, pada hakikatnya
hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip
nomokrasi (nomcrasy) dan doktrin ‘the Rule of Law, and not of Man’. Dalam
kerangka ‘the rule of Law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu
mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam
hukum dan pemerintah (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).
Namun demikian, harus pula ada jaminan bahwa hukum itu sendiri
dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip
supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari
kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun
dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat
(democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan
dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka
(Machtstaat). Prinsip Negara Hukum tidak boleh ditegakkan dengan
mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar. Puncak kekuasaan hukum itu diletakkan pada konstitusi yang pada
hakikatnya merupakan dokumen kesepakatan tentang sistem kenegaraan
tertinggi. Bahkan, dalam sistem presidensil yang dikembangkan, konstitusi itulah
yang pada hakikatnya merupakan Kepala Negara Republik Indonesia yang
bersifat simbolik (symbolic head of state), dengan keberadaan Mahkamah
Konstitusisebagai penyangga atau ‘the guardian of the Indonesian constitution’.
Ketentuan mengenai cita-cita negara hukum ini secara tegas dirumuskan
dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan: ‘Negara Indonesia adalah
Negara Hukum’, sebelum ini, rumusan naskah asli UUD 1945 tidak
mencantumkan ketentuan mengenai negara hukum ini, kecuali hanya dalam
penjelasan UUD 1945 yang menggunakan istilah ‘rechtsstaat’. Rumusan
5
eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum baru terdapat dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950. Untuk mengatasi kekuarangan itulah maka dalam perubahan
ketiga UUD 1945, ide negara hukum (rechtstaat atau the rule of law) itu
diadopsikan secara tegas ke dalam rumusan pasal UUD, yaitu pasal 1 ayat (3)
tersebut diatas. Sementara itu, ketentuan mengenai prinsip kedaulatan rakyat
terdapat dalam pembukaan dan juga pada pasal 1 ayat (2). Cita-cita kedaulatan
tergambar dalam pembukaan UUD 1945, terutama dalam rumusan alinea IV
tentang dasar negara yang kemudian dikenal dengan sebutan Pancasila. Dalam
alinea ini, cita-cita kerakyatan dirumuskan secara jelas sebagai “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Sedangkan dalam rumusan pasal 1 ayat (2), semangat kerakyatan itu
ditegaskan dalam ketentuan yang menegaskan bahwa “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
PEMISAHAN KEKUASAAN DAN PRINSIP ‘CHECKS AND BALANCES’
Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat tersebut di atas selama ini
hanya diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan
penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan yang
diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas.
Dari Majelis inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara vertikal ke dalam
lembaga-lembaga tinggi negara yang berada dibawahnya. Karena itu, prinsip
yang dianut disebut sebagai prinsip pembagian kekuasaan (distribution of
power). Akan tetapi, dalam Undan-Undang dasar hasil perubahan, prinsip
kedaulatan rakyat tersebut ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara
memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang
dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip ‘checks and balaces’.
6
Cabang kekuasaan legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat,
tetapi majelis ini terdiri dari dua lembaga perwakilan yang sederajat dengan
lembaga negara lainnya. Untuk melengkapi pelaksanaan tugas-tugas
pengawasan, disamping lembaga legislatif dibentuk pula Badan Pemeriksa
Keuangan. Cabang kekuasaan eksekutif berada ditangan Presiden dan Wakil
Presiden. Untuk memberikan nasehat dan saran kepada Presiden dan Wakil
Presiden, dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung. Sedangkan cabang
kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan rumah penjelmaan
seluruh rakyat yang strukturnya dikembangkan dalam dua kamar, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu,
prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus
dibedakan hakikatnya dari prinsip perwakilan rakyat dalam Dewan Perwakilan
Rakyat.
Maksudnya ialah agar seluruh aspirasi rakyat benar-benar dapat
dijelmakan ke dalam Majelis Perusyawaratan Rakyat yang terdiri dari dua pintu.
Kedudukan Majelis Pemusyawaratan Rakyat yang terdiri dari dua lembaga
perwakilan itu itu adalah sederajad dengan Presiden dan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai
dengan prinsip ‘Check and balances’. Dengan adanya prinsip ‘Check and
balances’ ini, maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi dan bahkan
dikontrol dengan sesebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh
aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang
menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat
dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya,

sejarah ketatanegaraan indonesia

sejarah ketatanegaraan indonesia

  1. Perubahan Sistem Pemerintahan Negara
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mengesahkan Konstitusi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negra Indonesia dikenal naskah yang singkat dan supel yang memuat hal-hal yang pokok saja sedangkan didalam melaksanakan aturan yang pokok tersebut diserahkan kepada Undang-Undang yang lebih rendah. Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak melaksanakan pasal-pasal dari UUD. Pasal-pasal yang kita gunakan ialah pasal peralihan. Menurut UUD 1945, Pemerintahan Republik Indonesia di pimpin oleh presiden dan di Bantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)). Residen kecuali sebagai kepala Negara ia juga sebagai kepala Pemerintahan.
Sistem pemerintahan kita ialah Presidensil, dalam arti kepala Pemerintahan ialah Presiden, dan di pihak lain ia tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan Presiden tidak bergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Alinea Kedua Angka V, Penjelasan tentang UUD 1945).
Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan juga menteti-menteri yang diangkat dan di berhentikan oleh Presiden (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3). Menteri-menteri tidak bertanggung jawab dan tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung kepada Prsiden (angka V Penjelasan UUD 1945).
Meskipun Wakil Presiden dan Menteri-menteri sama-sama berkedudukan sebaga presiden, akan tetapi sifatnya berbeda, yaitu; Pertama, Wakil Presiden diangkat oleh MPR, sedangkan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedua, Wakil Presiden bukan pembantu Kepala Pemerintahan, tetapi merupakan pembantu Kepala Negara. Menteri-menteri adalah pembantu Kepala Pemerintahan (pasal 17 (3). Ketiga, apabila Presiden berhalangan Wakil Presiden dapat menggantikan Presiden, Menteri tidak biasa menggantikan presiden kecuali apabila dalam waktu yang sama Wakil Presiden juga berhalangan (pasal 8 UUD 1945).
Meskipun tidak bertanggung jawab terhadap DPR akan tetapi kekuasaan Presiden tidaklah tidak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Dewan Perweakilan Rakyat ialah kuat tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Menteri-menteri hanya menjalankan pouvoir executf (kekuasaan pemerintahan) dalam praktiknya.
Sebagai pemimpim departemen menteri mengetahui seluk beluk hal mengenai lingkungan pekerjaanya. Menteri mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan politik Negara melalui departemennya.
Pada masa awal pemerintahan, kekeuasaan Presiden dalam menjalankan kekuasaanya bukan hanya sekadar berdasrkan pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasrkan pasal IV aturan peralihan yang berbunyi “ sebelum Majelis PermusyawaratanRakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Pertimbangan agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden di Bantu oleh KOmite Nasional”. Presiden juga mempunya tugas-tugas sebagai berikut.
Majelis Perusyawaratan Rakyat
  1. Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
  2. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)
  3. Mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37)
  4. Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2))mengangkat sumpah Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9)
  5. Pelaksana kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2))
Dewan Perwakilan Rakyat
  1. Memajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 ayat (2))
  2. Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (Pasal 23 ayat (1))
Dewan Pertimbanag Agung
  1. Memeberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan (2)).
Berdasarkan ketentuan ayat IV Aturan Peralihan tersebut, Presiden memilki kekuasaaan yang besar, Presiden memegang kekuasaan Pemerintah dalam arti yang luas. Dalam melaksanakan tugasnya Presiden hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Akibatnya Presiden dengan sah dapat bertidak dictator karena bantuan Komite Nasional sama sekali tidak bisa dianggap merupakan pengekangan terhadap kekuasaanya.
Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan berlangsung sampai terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Selam lembaga tersebut terbentuk, kekuasaan Presiden adalah mutlak.
Pada 29 Agustus 1945 PPKI telah dibubarkan oleh pesiden dan sebagai gantinya dibentuk Komisi Nasional Pusat (KNIP). Badan ini walupun keberadaannya mutlak menurut Aturan Peralihan pasal IV akan , tugasnya hanya sekedar pembantu Presiden dalm bidang yang dikehendaki.
Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa semenjak di ciptakan perkembangan UUD 1945 telah mengalami perkembangan yang amat pesat.dua bulan dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadi perubahan praktik ketatanegaraan, khususnya perubahan tehadap Aturan Peralihan Pasal IV, dengandikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang menetapkan sebagai berikut:
“Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan Legislatif dan ikut serta menentukan garis-garis besar daripada haluan Negara”
“bahwa pekerjaan Komitr Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilihantara mereka serta bertanggung jawb kepada Komite Nasional Pusat”.
Apabila kita lihat dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat tiga hal yang penting, yaitu:
Komite Nasional Pusat menjadi lembaga legislative.
Komite Nasional Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
Ia membetuk Badan Pekerja yang akan bertanggung jawab kepada Komit Nasional Pusat.
Tugas legislatif yang diserahkan kepada Komite Nasional yang dimaksud, hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang, baik pasif maupun aktif. Tidak termasuk didalamnya hak mengontrol dan mengawasi pemerintah. Tugas itu langsung ada pada Presiden sendiri, sesuai dengan Pasal IV Aturan Peralihan.
Berdasarkan semua itu, menurut Tolchah Mansoer, sebenarnya dengan Maklumat No.X belumlah terjadi sesuatu yang fundamental dalam hubungan ketatanegaraan sebab langkah-langkah itu diambil masih dalam batas-batas Pasal IV Aturan Peralihan. Tentang bidang legislative, kalau tadinya Presiden mengerjakan nya dengan bantuan Komite Nasional, sekarang tugas itu oleh Presiden hendak diserahkan kepada Komite Nasional, artinya peranan bantuan itu didalam bidang legislative hendak diperbesar.
Kekuasaan Presiden, menuut A.K. Pringgodigdo, dikatakan dictatorial. Dengan adanya maklumat tersebut Presiden yang tadinya memiliki kekuasaan mutlak maka harus dibagi dengan komite nasional pada tnggal 16 oktober 1945.
Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap status dan fungsi Badan Pekerja KNIP tersebut, pada 20 Oktober 1945 dikeluarkanlah penjelasan dri Badan Pekerja, yang menyatakan sebagai berikut.
1. Turut menetapkan garis-garis besar haluan Negara
Ini be arti bahwa Badan Pekerja bersama-sama dengan Presiden menetapkan garis-garis besar haluan negara. Badan Pekerja tidak berhak campur dalam kebijaksanaan (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan Presiden semata-mata.
2. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden undang-undang yang boleh mengenai segala macam urusan pemerintah…”
Perubahan kedua yang terjadi dalam penyelenggaraan Negara ialah dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1946. Maklumat Pemeritah ini, sebenarnya adalah suatu tindakan yang maksudnya akan mengadakan pembaruan terhadap susunan cabinet yang ada. Dengan Maklumat ini, diumumkanlah nama-nama dari mentri-mentri dalam susunan kabinet yang baru.
Semula cabinet ialah dibawah pimpinan Presiden akan tetapi stelah terbitnya maklumat tersebut kemudian menjadi dewan yang diketuai oleh perdanamentri yang dipimpin oleh Sutan Syahrir.
Dalam hal yang terpenting menurut Joeniarto, di Indonesia telah terjadi konstelasi ketatanegaraan. Jika semula UUD menganut sisim presidensil dengan maklumat tersebut prinsip pertanggung jawaban mentri dengan resmi diakui. Terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif yang semula mentri bertanggungjawab kepada presiden sekarang terhadap perdana mentri.
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah tersebut bergeserlah kekuasaan presiden dan mengubah sistim ketatanegaraan yang tadinya presidensil menjadi parlementer. Perlu dikaji apa dasar hokum kedua maklumat tersebut.
Mengenai perkembangan konstitusi tersebut menurut K.C. Wheare: “Many important changes in the working of a constitution occur without any alteration in the rules of custom and convention.” Dalam hubungan dengan UUD 1945 prnyataan ini adalah benar. Perubahan yang radikal telah terjadi tanpa suatu amandemen pada teks dari UUD sendiri.
Terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonsia setelah lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X, sebenarnya belumlah terjadi perubahan yang fundamental karena maklumat itu hanya penegasan terhadap pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini sebenarnya tidak diatur didalam UUD 1945. Jadi, sebenarnya pertanggungjawaban Menti Negara kepada perdana mentri merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945 (Pasal 17 ). Hal ini seharisnya tidak dapat terjadi tanpa melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 17 UUD 1945.
Sampai saat ini terjadi perdebatan dikalangan akademisi entang dasar hokum maklumat tersebut. Diantaranya, Ismail Suny berpendapat bahwa dasar hukumMaklumat tersebut adalah kebiasaan atau “convention”. Dengan cara kebiasaan politik itu maka pengaturan tanggungjawab mentri dapat pula ditimbulkan dinegri kita. Lebih lanjut suny mengatakan sebagai berikut.
“Apabila convention itu terjadi, tentulah bentuk dan cara kerja tanggungjawab mentri itu akan bersifat sementara. Jadi, sebenarnya segala sifat sementara itu baru dapat hilang kalau DPR dan MPR telah dibentuk oleh seluruh rakyat Indonesia dengan pemilihan umum.”Maka dari itu, segala perubahan pada masa sekarang yang bermaksud menyempurnbakan susunan Negara Republik Indonesia walaupun kelihatannya bertentnggan dengan UUD pantas kita sambut dengan tenang hati.
Sementara Assat mempertahankan bahwa, perbuatan Badn Pekerja itu dibenarkan Oleh Komite Nasional Pusat pada sidang III dengan persetujuan Presiden maka kekeuatannya sama dengan Undang-Undang.
Tetapi pertanyaan tersebut mnimbulkan keganjilan karena pada saat itu kita telah memilik UUD, mengapa persetujuan tersebut tidak di atur dalaam perundangan sebgaiman telah diamanatkan oleh UUD 1945. Istilah maklumat selain tidak dikkenal dalam UUD 1945 serta kedudukannya tidak jelas apakah lebih tinggi dari UUd atau lebih rendah. Jika lebih rendah ia tidak bias menagtur muatan materi yang terdapat dalam UUD dan mengubahnya dan jika lebih tinggi, tidak mungkin karena perundang-undangan terttinggi pada waktu itu ialah UUD 1945.
M. Yamin berpendapat bahwa kementerian yang bertanggunga jawab tidak sesuai dengan UUD 1945 bahkan berlawanan dengan pasal 17 UUD 1945. A.K Pringgidigdo mengomentari Assat bahwa ketentuan tersebut tidak benar dengan mendasar pada convention sebagai aturan abru yang sengaja diadakan. Sementara UUD telah mengatur cara-cara penbuatan Undang-Undang melalui ketentuyan pasal 37. jika memang hal tersebut tidak diatur maka convention dapat dibenarkan, tetapi kalau ada dalam UUD maka hal itu menyalahi aturan. Jika hal ini dibiarkan maka UUD hanya dianggap sekadar pelengkap, bias di kesampingkan dengan aturan lain.. perubahan sesungguhnya harus dilakukan oleh MPR sebagaiman telah digariskan UUD.
Sesungguhnya dengan lahirnya Maklumat tesebut telah terjadi perubahan terhadap pasal 17 UUD 1945, tanpa melalui prosedur perubahan menurut pasal 37 UUD 1945.perubahan tersebut tidak diatur dalam UUD akan tetapi dengan jalan istimewa seperti revolusi, coup d’etat, convention dan sebagainya. Hal ini dalikukan karena pada saat itu keadaan dalam kondisi darurat. Artinya, lembaa yang seharusnya dibentuk belun ada.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu: (1­).UUD 1945, yang berlaku antar 17 Agustus 1945-27 Desember 1939; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat; (3) UUDS 1950, yang berlaku pada 17 Agustus 1950-5 Juli 1959; (4) UUD 1945, yang berlaku setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam keempat periode tersebut, UUD 1945 berlaku selama dua kali. Pertama diundangkan dalan Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. kedua, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945. Perkembangan ketatanegaraan Indonesia sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila sebagai Falsafah Negara tidak berjalan dengan mulus karena Beland selalu ingin menancapkan kembali kekuasaannya.
Berbagai pengalaman pahit telah dialami bagngsa Indonesia, Belanda terus mencecar dengan memaksakan agar mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah hancur. Mereka juga secara terus menerus membuat “Negara” di tubur RI yang diakui secara defacto dngan persetujuan Linggarjati.
Pada tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar kemudian dilakukan pengesahan pda tanggal 27 Desember 1949 tentang penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia. Dalam KMB terdapat tiga kesepakatan yaitu:
Mendirikan Republik Indonesia Serikat
Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu; (a)piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS; (b) Status uni; (c) persetujuan perpindahan;
mendirikan uni antar Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.